BREAKING NEWS

Senin, 26 Januari 2015

Suku Batak sudah ramah kita dengar di Indonesia kita tercinta ini. Saya sebagai orang Batak pun mengetik entri ini sambil belajar mengenai Batak. Apalagi teman-teman yang bukan suku Batak pasti ingin tahu apa sih sejarah suku Batak.
Oke, marilah kita membahas sejarah suku Batak, ya.

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak TobaBatak KaroBatak PakpakBatak SimalungunBatak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen ProtestanKristen Katolik, dan Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dariTaiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
  • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
  • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
  • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
Ya, baru saja kita membahas sejarah Batak ini. Dengan mengetahui sejarah suku Batak, alangkah baiknya kita melestarikan suku-suku kita masing-masing agar tidak punah suatu saat nanti dan kita membagi informasi dan pengetahuan ini kepada sesama. Semoga bermanfaat ya, guys.
Banyak jenis-jenis ulos di suku Batak, karena suku Batak dikelompokkan menjadi 6 yaitu, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Karena hal tersebut, mari kita bahas satu per satu jenis-jenis ulos Batak.
 Jenis-jenis Ulos Batak Mandailing
 1. Ulos Sadum
  
  2. Ulos Godang
  
 3.  Parompa
  

Banyak jenis-jenis ulos di suku Batak, karena suku Batak dikelompokkan menjadi 6 yaitu, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Karena hal tersebut, mari kita bahas satu per satu jenis-jenis ulos Batak.
 Jenis-jenis Ulos Batak Simalungun
  1. Ulos Tapak Catur
   
  2. Ulos Suri-Suri
 3. Ulos Hatirongga
 4. Ulos Simakas-akat
 5. Ulos Ragi Pane
 6. Ulos Ragi Cantik
  

  

Minggu, 25 Januari 2015

Banyak jenis-jenis ulos di suku Batak, karena suku Batak dikelompokkan menjadi 6 yaitu, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Karena hal tersebut, mari kita bahas satu per satu jenis-jenis ulos Batak.
Jenis-jenis Ulos Batak Toba
 1. Ulos Ragi Hidup
  
Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak. Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu. Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir). Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah. Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita. 
  2. Ulos Ragi Hotang


Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.

Jumat, 23 Januari 2015

Sebagai orang batak, saya yakin kalau masih banyak yang belum mengerti dan tahu betul apa itu ULOS. Berikut ini saya akan memberitahu teman-teman sekalian tentang pengertian ULOS yang dimana merupakan suatu busana khas dari suku Batak.

ULOS atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. ULOS secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatra Utara. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kainCara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.Warna dominan pada ULOS adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ULOS dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, taspakaian, alas meja, dasidompet, dan gorden.ULOS juga kadang-kadang diberikan kepada sang ibu yang sedang mengandung supaya mempermudah lahirnya sang bayi ke dunia dan untuk melindungi ibu dari segala mara bahaya yang mengancam saat proses persalinan.


ULOS biasanya berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” ULOS penghit ni halong, yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama.
Pada mulanya fungsi ULOS adalah untuk menghangkan badan, tetapi kini ULOS memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak. ULOS tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, artinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Dewasa ini tidak sedikit perancang busana yang terpesona akan corak dan motif ulos dan membuat kreasi baru seperti: Baju, Gaun, Tas, dan lain-lain.
Dalam pandangan suku kaum Batak, ada tiga unsur yang mendasarkan dalam kehidupan manusia, yaitu darah, nafas, dan panas. Dua unsur terdahulu adalah pemberian Tuhan, sedangkan unsur ketiga tidaklah demikian. Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis udara dingin di pemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi diwaktu malam.Menurut pandangan suku bangsa batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ULOS. ULOS sendiri berfungsi memberi panas yang menyehatkan badan dan menyenangkan fikiran sehingga kita gembira dibuatnya.
Dikalangan orang batak sering terdengar ‘mengulosi’ yang ertinya memberi ULOS, atau menghangatkan dengan ULOS. Dalam kepercayaan orang-orang Batak, jika (tondi) pun perlu diulos, sehingga kaum lelki yang berjiwa keras mempunyai sifat-sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan orng perempuan mempunyai sifat-sifat ketahanan untuk melawan guna-guna dan kemandulan.
Dalam hal mengulosi, ada aturan yang harus dipatuhi, antara lain orang hanya boleh mengulosi mereka yang menurut kerabatan berada dibawahnya, misalnya orang tua boleh mengulosi anak, tetapi anak tidak boleh mengulosi orang tua. Jadi dalam prinsip kekerabatn Batak yang disebut ‘Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas unsur-unsur hula-hula boru, dan dongan sabutuha, seorang boru sama sekali tidak dibenarkn mengulosi hula-hulanya. ULOS yang diberikan dalam mengulosi tidak boleh sebarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya.
Sebagai satu contoh, ulos Ragi Hidup yang akan diberikan kepada Boru yang akan melahirkan anak sulungnya haruslah yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni ulos yang disebut ‘ulos sinagok’. Untuk menulosi pembesr atau tamu kehurmat, ‘Ulos Ragi Hidup silingo’, iaitu ulos yang diberikan kepada mereka yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi) kepada orang lain.
Nah.. dengan ini, kita sudah mengetahui apa arti ULOS itu sendiri kan, jadi, sebagai anak bangsa kita harus bisa melestarikan barang-barang tradisional.

FB Saya